NABI NUH AS DENGAN BAHTERANYA
NUH AS
Nama: Nuh/Yasykur/Abdul Ghaffar bin Lamak.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As.
Usia: 950 tahun.
Periode sejarah: 3993-3043 SM.
Tempat diutus (lokasi): Selatan Irak.
Jumlah keturunannya: 4 putra (Sam, Ham, Yafits dan Kan’an).
Tempat wafat: Mekkah.
Sebutan kaumnya: Kaum Nuh.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 43 kali.
Nama: Nuh/Yasykur/Abdul Ghaffar bin Lamak.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As.
Usia: 950 tahun.
Periode sejarah: 3993-3043 SM.
Tempat diutus (lokasi): Selatan Irak.
Jumlah keturunannya: 4 putra (Sam, Ham, Yafits dan Kan’an).
Tempat wafat: Mekkah.
Sebutan kaumnya: Kaum Nuh.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 43 kali.
Bertahun lamanya kaum Nabi Nuh a.s. menyembah berhala.
Mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan tempat meminta kebaikan dan
tempat menolak bala. Berhala menjadi tempat bergantung segala sesuatu dalam
kehidupan mereka. Mereka meminta dan memanggil berhala-berhala itu dengan
beragam nama. Kadang dengan nama Wadda, Suwaa’, dan Yaghuts. Kadang dengan nama
Ya’uq, atau Nasr –nama-nama berhala ini diwarisi masyarakat Arab di masa
jahiliyah. Mereka berbuat yang demikian itu dikarenakan kejahilan dan menuruti
hawa nafsu.
Asal muasal nama-nama berhala itu diambil dari nama-nama
ulama mereka yang pernah hidup bersama mereka sebelumnya. Dengan dalih untuk
mengenang jasa-jasa mereka dan untuk mengingatkan semangat peribadatan umat
ketika itu, maka dibuatlah patung, gambar, simbol-simbol visualisasi fisik
mereka. Namun lambat laun dengan bergantinya generasi, patung-patung itu justru
disembah dan dijadikan tuhan. Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan
Nasr.” (Nuh: 23).
Di kondisi masyarakat seperti itulah Nabi Nuh a.s. diutus.
Nuh adalah orang yang sangat fasih dalam bertutur, cerdas akalnya, pemikirannya
jauh ke depan, santun perilakunya, sangat sabar tatkala harus berdebat,
memiliki kemampuan berargumentasi yang kuat, dan punya kekuatan meyakinkan
lawan bicara. Dengan bekal itu Nabi Nuh mengajak kaumnya untuk kembali kepada
Allah swt. Sayang, kaumnya menolak seruannya. Namun Nuh a.s. tetap memberi
peringatan tentang dahsyatnya siksa pembalasan di hari kiamat. Dan kaumnya
tetap membisu dan tuli. Nuh a.s. terus memotivasi mereka dengan imbalan pahala
yang sangat besar jika mau beriman, namun mereka semakin menutup telinga dan
mata. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata:
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa
azab pada hari yang besar (kiamat).” (Al A’raf: 59).
Agar misi dakwah ilallah berjalan
dengan lancar dan kontinu, Allah swt. membekali para nabi dan rasul dengan
salah satu sifat asasi, yaitu sabar. Sabar dalam terus mengajak kebaikan, sabar
dalam menghadapi hinaan, tegar dalam menghadapi penentangan, sebagaimana mereka
juga dibekali dengan sifat bijaksana dan santun. Dengan demikian, tidak ada
lagi hujjah atau udzur bagi orang kafir dengan menyalahkan Allah swt. di
yaumil akhir kelak setelah datangnya para nabi dan rasul di tengah-tengah
mereka.
1. Membuktikan Kesabaran
Membuktikan Kesabaran adalah Nabi Nuh alaihissalam, salah
satu dari rasul yang memiliki sebutan ulul azmi, yang memiliki
ketegaran. Ia
mendakwahi kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Subhanallah, waktu yang tidak sebentar. Ia sabar
menghadapi celaan kaumnya, ia tegar menghadapi penentangan mereka. Sisi lain,
ia sangat menghendaki kebaikan dan keimanan kaumnya. Akan tetapi mereka
bukannya menerima seruan dakwah Nabi Nuh, justru kian hari mereka kian menolak
dan menentang.
Perihal penolakan kaumnya, Nabi Nuh
alaihissalam mengadu kepada Allah swt. Ia merasa tidak ada peluang kebaikan dan
keimanan lagi dari kaumnya. Akhirnya Allah swt. memberitahu Nuh bahwa kaumnya
tidak akan ada yang mau beriman lagi. “Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di
antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang
selalu mereka kerjakan.” (Huud: 36)
Ketika mengetahui bahwa Allah swt. telah memutuskan
kalimat-Nya bahwa tidak akan ada yang beriman seorang pun dari mereka setelah
ini, Allah telah menutup kalbu mereka dan menguncinya dengan gembok yang kuat,
Nabi Nuh alaihissalam berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang
pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika
Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu,
dan mereka tidak akan melahirkan kecuali anak yang berbuat maksiat lagi sangat
kafir. (Nuh: 26-27). Allah swt. mengabulkan pengaduan Nabi Nuh dan
memerintahkannya untuk bersiap-siap mengadakan penyelamatan bila tiba
saatnya. “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim
itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Huud: 37).
2.
Melaksanakan
Perintah Tanpa Ragu
Nabi Nuh menjauh dari pusat kota untuk membuat bahtera. Ia
mulai bekerja. Sampai di sini, ia pun tidak luput dari celaan dan hinaan
kaumnya. Sebagian mereka mengatakan, “Wahai Nuh, kamu sebelum ini mengaku
sebagai Nabi dan Rasul, bagaimana sekarang kamu menjadi tukang kayu? Apakah
kamu melepaskan kenabian? Ataukah kamu lebih suka menjadi tukang kayu?”
Sebagian yang lain mengatakan, “Kamu membuat bahtera di
tempat yang jauh dari sungai dan laut? Apakah kamu mengharapkan banjir akan
menjalankan bahteramu? Atau kamu paksa angin akan membawanya terbang?” Nabi Nuh
tidak menggubris hinaan dan celaan mereka. Ia dengan santun melalui omong
kosong mereka, sambil berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka
sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).
Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang
menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (Huud: 38-39).
Nabi Nuh berkonsentrasi membuat bahtera. Ia menyusun
kayu-kayu, mengguatkan susunan-susunannya, sampai akhirnya jadilah bahtera
besar dan kokoh. Nabi Nuh menunggu keputusan Allah swt. sampai akhirnya Allah
swt mewahyukan kepadanya: “Jika sudah datang keputusan Kami, telah tampak
tanda-tanda ayat-ayat Kami, maka berlindunglah kamu di dalam bahtera, dan
bawalah orang yang beriman dari keluarga dan kaummu, dan bawalah setiap hewan
dan tanaman masing-masing sepasang.” Tibalah putusan Allah swt., yaitu ketika
pintu-pintu langit terbuka dengan mengguyurkan hujan yang sangat deras, sedangkan
bumi memancarkan sumber air yang sangat kencang, hingga menyebabkan air bah
meluap, meninggi dan terus meninggi. Nabi Nuh bergegas menuju bahteranya dengan
melaksanakan segala perintah Tuhannya, yaitu membawa manusia, hewan, dan
tanaman berpasangan.
3.
Tawakkal kepada Allah
Bahtera melaju dengan nama Allah swt., Dzat
yang menjalankan dan melepasnya. Kadang bahtera melaju dengan tenang, kadang
melaju dengan goncangan hebat. Tsunami menggulung setiap yang diterjangnya.
Ombak menggunung mengubur orang-orang kafir. Busa air bah bak kain kafan yang
menyelimuti mereka. Mereka berjuang menyelamatkan diri dari maut, padahal maut
mengejar dan mengalahkan mereka. Mereka melawan ombak, justru ombak menggilas
mereka.
Nabi Nuh dan kaumnya tenang di atas bahtera,
sampai akhirnya ia melihat putranya, Kan’an –penentang Allah, membenci dan
menjauh dari ayahnya– berusaha menyelamatkan diri dari gulungan ombak yang
dahsyat. Ia terlihat berusaha memegang tali agar selamat, atau menuju bukit
agar terhindar dari tsunami. Akan tetapi
maut mengincar dirinya. Melihat kejadian itu, Nabi Nuh sebagai seorang ayah
merasa kasihan. Cinta dan kasih-sayang seorang ayah bergolak. Nabi Nuh
memanggil putranya dengan harapan panggilan itu sampai pada kalbu, sehingga ia
mau beriman. Atau sampai pada perasaan yang paling dalam sehingga ia mau
mendengar seruan ayahnya.
“Wahai putraku, mau
ke mana kamu? Kamu lari
dari takdir Allah dan keputusan-Nya menuju takdir dan keputusan-Nya yang lain.
Kemari beriman, wahai putraku, kamu akan bersatu lagi dengan keluargamu, dan
kamu akan selamat dari tsunami ini.””Dan bahtera itu berlayar
membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya,
sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke
kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Huud: 42).
Seruan sang ayah rupanya tidak sampai pada
lubuk hatinya, tidak sampai ke relung kalbunya. Ia menyangka mampu menghindar
dari keputusan Allah swt., ia mengira bisa selamat dari takdir-Nya. Kan’an
menjawab, ”Menjauhlah kamu dari saya, karena saya akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini!”. Nabi Nuh
menyeru dengan penuh kegalauan dan kekhawatiran, ”Wahai putraku, tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang.
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 43).
Melihat putranya tenggelam di depan mata
kepalanya, Nabi Nuh berujar dengan penuh kesedihan dan duka cita: “Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.
Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” (Huud: 45). Allah swt.
menegur Nabi Nuh, “Wahai Nuh, ia bukan dari anggota keluargamu, ia juga bukan
dari keluarga besarmu. Ia telah menentang, ia telah nyata-nyata kufur, maka
jangan kamu anggap ia sebagai keluargamu, kecuali orang yang telah beriman
kepadamu, mempercayai risalahmu, mengikuti dakwahmu. Itulah keluargamu yang Aku
janjikan akan selamat dan mendapatkan kemenangan. ”Dan Kami selalu berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman.”(Rum: 47).
Adapun orang-orang yang menentang risalahmu,
mendustakan kalimat Tuhanmu, ia keluar dari anggota keluargamu, jauh dari
syafa’atmu, meskipun kalian ada hubungan darah atau nasab. Allah
berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.
Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Huud: 46).
4.
Mengakui Kesalahan dan Segera Bertaubat
Seketika itu Nabi Nuh paham bahwa perasaannya
telah menjerumuskan kepada kesalahan. Dorongan cinta telah menutupinya dari
kebenaran. Ia lebih pantas menengadahkan tangan bersyukur kepada Allah swt.
yang telah menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari tsunami, dan atas
ditimpakannya kehancuran dan ditenggelamkannya orang-orang kafir. Nabi Nuh
kembali kepada Allah swt., memohon ampun atas kesalahan dirinya seraya
berlindung akan murka-Nya. Ia berkata: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada
mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan
(tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang
yang merugi.” (Huud: 47).
Ketika tsunami telah sampai puncaknya, dan
orang-orang dzalim telah tergilas olehnya, langit tidak lagi menurunkan hujan,
bumi tidak lagi memancarkan sumber air, dan bahtera pun selamat menepi di Bukit
Judi. Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan
Mesopotamia. “Dan
difirmankan: Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan
air pun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di
atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Huud: 44). Dikatakan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan
penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari
orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang kami beri kesenangan
pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang
pedih dari Kami.” (Huud:
48).
Ibrah dari Kisah Nabi Nuh
a.
Berdakwah adalah wajib
bagi para rasul. Sepeninggal mereka kewajiban itu diwajibkan kepada para
pengikutnya sesuai kemampuan masing-masing. Rasulullah saw. bersabda,
”Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang menyeru dan menegakkan
kebenaran, sampai datang kepada mereka ketentuan Allah (kemenangan).”
(Bukhari, Sahih Bukhari, hal. 286).
b.
Di dalam melaksanakan
dakwah ilallah dibutuhkan ilmu tentang fiqh dakwah, yaitu
pengetahuan tentang tahapan dakwah, sarana dakwah, metode dakwah, dan
mengetahui latar belakang serta kondisi objek dakwah. Sebagaimana Rasulullah
saw. pernah mencontohkan. Beliau pernah ditanya oleh beberapa sahabat dalam
kesempatan berbeda dengan satu pertanyaan. Namun Beliau menjawab dengan
beragam. Beliau menjawab amal yang paling dicintai Allah adalah berbuat baik
kepada kedua orang tua, karena sahabat yang bertanya ternyata tidak berbuat
baik kepada orang tuanya. Jawaban untuk yang lain, shalat tepat waktu, karena
Rasul mengetahui bahwa sahabat yang satu ini kurang memperhatikan masalah
shalat berjama’ah tepat waktu. Pada kesempatan yang lain, beliau menjawab jihad
fii sabilillah, karena sahabat yang tanya ternyata tidak sungguh-sungguh dalam
berjihad.
c.
Bangga dengan para
pendukung dakwah. Tidak pandang bulu siapa pun mereka dan berapa pun jumlah
mereka. Ketika Rasulullah saw. sedang duduk-duduk bersama orang mukmin yang
dianggap rendah dan miskin oleh kaum Quraisy, datanglah beberapa pemuka Quraisy
hendak bicara dengan Rasulullah. Tapi mereka enggan duduk bersama mukmin itu.
Mereka mengusulkan supaya orang-orang mukmin itu diusir saja. Lalu turunlah
ayat ini. ”Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. kamu
tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka
pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang
menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang
yang zalim). (Al-An’am: 52).
Daftar Pustaka
http://www.dakwatuna.com/2007/04/01/141/kisah-dakwah-nabi-nuh/#ixzz6Hi6fDTVqhttp://www.dakwatuna.com/2007/05/06/166/bahtera-nabi-nuh/#ixzz6Hi62aP94
Komentar
Posting Komentar