Hafshah binti Umar bin Khaththab, (Pemilik Mushaf Pertama)
Nama lengkapnya
ialah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay, perempuan yang lahir di
kalangan orang-orang shalih dan shalihah yang termasuk para sahabat Rasul. Ia
merupakan wanita keturunan suku Arab Adawiyah dan sekaligus putri dari salah
satu sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam, yakni Umar bin Khaththab.
Ibunya, Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, adalah saudara
perempuan dari Utsman bin Madh’un, muhajirin pertama sekaligus pemimpin dari
kelompok orang-orang yang hijrah pertama kali ke Habsyi.
Hafshah lahir pada
salah satu masa yang bersejarah, yakni saat Rasulullah memindahkan Hajar Aswad
kembali ke ka’bah setelah sebelumnya ka’bah rubuh akibat banjir, dan hanya
berselang beberapa hari setelah kelahiran Fathimah Az-Zahra, putri Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam. Sebelum Allah merahmati keluarganya dengan Islam,
ayahnya merupakan seorang laki-laki berwatak keras sekaligus musuh utama umat
Islam yang terpandang dan ditakuti oleh banyak orang. Ketika mendengar
anaknya yang lahir adalah seorang putri, maka berang dan resahlah sang ayah. “Kelahiran seorang anak perempuan di kalangan
suku Quraisy pada saat itu adalah sebuah berita yang memalukan!” Mungkin
begitu pikirnya. Anak perempuan dianggapnya sebuah aib yang mencoreng nama
baik. Jika saja ayahnya tahu jika anak perempuannya kelak akan menjadi sebuah
kebaikan yang besar baginya dan akan menjadi salah satu istri dari Rasul Allah,
mungkin ia akan menjadi orang yang paling bahagia pada saat itu.
Namun, ternyata
Allah mengabulkan doa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, dan memberikan
hidayah untuk masuk Islam kepada salah seorang dari dua Umar. Dengan kuasa-Nya,
Ia memilih Umar bin Khaththab untuk merasakan manisnya keimanan. Hafshah yang
saat itu baru berumur sepuluh tahun akhirnya memeluk islam. Hafshah adalah
wanita dengan karakter yang tidak jauh dari ayahnya. Ia adalah sosok wanita
yang berani, berkepribadian kuat, dan tegas dalam berucap. Hafshah juga
merupakan wanita yang pandai dalam membaca dan menulis di saat wanita-wanita
lain dianggap belum pantas memiliki kemampuan tersebut.
Hafshah juga
merupakan seorang janda dari seorang mujahid yang shalih, yakni Khunais bin
Hudzafah as-Sahami. Pernikahan keduanya terjadi ketika para muhajirin di
Habasyah kembali ke Mekah, dan Khunais adalah salah satu di antaranya. Ketika
sampai di Mekah, Khunais segera mengunjungi Umar, dan di sanalah ia melihat
Hafshah. Umar pun langsung merestui ketika Khunais meminta untuk dinikahkan
dengan Hafhsah. Akhirnya berlangsunglah pernikahan antara Hafshah dan Khunais.
Belum terlalu lama
mereka menimmati kehidupan berumah tangga, Allah memberi cobaan kepada Hafshah.
Sang suami tercinta harus gugur setelah ikut berjihad di Perang Badar dan
terluka parah. Dalam peperangan tersebut, Allah memenangkan umat Islam meskipun
maju dengan jumlah yang sedikit. Di hari-hari terakhirnya, dengan penuh
kesabaran Hafshah mendampingi dan mengobati suaminya. Meskipun akhirnya Allah berkehendak
lain, yakni memanggil Khunais dalam keadaan sebagai syahid. Hafshah yang saat
itu baru berusia 18 tahun menjadi seorang janda.
Umar yang
mengetahui bahwa anaknya menjadi janda dalam umur yang masih muda pun menjadi
resah. Ia berniat menikahkan kembali Hafshah dengan laki-laki yang shalih. Ia
meminta Abu Bakar dan Utsman bin Affan untuk menikahi putrinya, tetapi keduanya
tidak mengiyakan hal tersebut. Kemudian Umar menuju Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wa Sallam dan mengadukan semua kegundahannya. Setelah
mendengar semuanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam hanya berkata, “Hafshah
akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar.
Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”
Umar sempat merasa
bingung, namun ternyata itu merupakan sebuah pernyataan bahwa yang akan
menikahi Hafshah adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam sendiri. Tak
dapat dilukiskan bagaimana bahagianya hati Umar saat itu. Akhirnya Hafshah
resmi menjadi salah satu istri dari manusia yang paling mulia di bumi ini,
kekasih Allah, yakni baginda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam. Hafshah
menjadi salah satu istri Nabi yang rajin ibadah, memperbanyak puasa, dan shalat
malam bahkan hingga setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam wafat.
Keistimewaan
Hafshah adalah ia berhasil mengumpulkan Al-Quran karena kepandaiannya dalam
membaca dan menulis. Al-Quran yang sebelumnya mengalami penghapusan dapat
terkumpul kembali salah satunya adalah karena Hafshah, satu-satunya istri Nabi
yang pandai membaca dan menulis. Setelah banyak para penghafal AlQuran yang
syahid, dan atas desakkan Umar Bin Khaththab, Abu Bakar pun memerintahkan
Hafshah untuk mengumpulkan lembaran-lembaran Al Quran dan memeliharanya.
Hafshah pun menjadi pemilik mushaf pertama, dan mushaf pertama tersebut berada
di rumahnya sampai ia wafat.
Hafshah, seorang
wanita cerdas dan tangguh yang di-‘hadiahi’ sebuah kehormatan besar untuk
menjadi istri Nabi dan menjadi pengumpul sekaligus pemilik mushaf Al-Quran pertama
setelah kesabaran dan kelapangan dadanya dalam menerima kematian suami yang
dicintainya dan menjadi janda dalam umur yang masih muda. Masalah yang kita
hadapi saat ini mungkin masih sebagian kecil dari beratnya masalah yang
dihadapi oleh Hafshah, atau mungkin juga sama. Namun, dengan kesabaran dan
keikhlasannya dalam menerima musibah, Hafshah dapat melaluinya, bahkan
mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar. Apakah kita tidak bisa? Jawabannya
tentu saja bisa. Janji Allah untuk orang-orang yang sabar tidak akan pernah
diingkari.
Hafshah, sosok yang
pantas menjadi teladan dan memberikan pernyataan tegas bahwa menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslimah. Muslimah memiliki hak untuk menuntut
ilmu setinggi-tinginya, tanpa harus mengesampingkan kewajibannya yang lain.
Termasuk dalam bidang-bidang ilmu yang belum banyak diselami oleh kebanyakan
perempuan. Ingat, Hafshah pandai dalam membaca dan menulis ketika kemampuan itu
masih dianggap ‘aneh’ untuk dimiliki perempuan-perempuan pada zamannya.
Daftar
Pustaka
Komentar
Posting Komentar